SisiIslam.Com – Apa yang menyatukan dan memisahkan para cendekiawan Islam paling terkemuka di dunia?
Dalam bukunya Islam and the Arab Revolutions, Usaama al- Azami mempelajari sebagian ulama top dunia, mulai dari pemelihara kediktatoran kasar sampai pemelihara kerakyatan Islam.
2 tahun sehabis revolusi Mesir, serta cuma sebagian pekan sehabis kepala negara awal yang tersaring dengan cara demokratis di negeri itu digulingkan dalam kudeta, ribuan pengunjuk rasa terkumpul di alun- alun Rabaa Kairo. Pada dini hari bertepatan pada 14 Agustus 2013, tembakan terdengar dikala gerombolan keamanan Mesir yang bersenjata komplit beranjak masuk, menembaki gerombolan pengunjuk rasa rukun, tercantum perempuan serta kanak- kanak.
Saksi mata apalagi memberi tahu gerombolan keamanan menembaki masyarakat awam yang tidak berakal dari helikopter, sedangkan pengunjuk rasa yang berupaya melarikan diri terperangkap di pintu pergi alun- alun. Walaupun ditaksir jumlah korban berpulang bermacam- macam, ahli serta pengarang Usaama al- Azami berspekulasi bisa jadi menggapai ribuan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Suatu penjepit film setelah itu diluncurkan di mana mantan Mufti Besar Mesir, Ali Gomaa, nampak berdialog di depan gerombolan aparat berseragam. Ia menghina para pengunjuk rasa, menyamakan mereka dengan bidat serta salah memaknakan perkata Rasul Muhammad buat menganjurkan mereka wajib” dihancurkan”.
Apa yang bisa jadi mendesak Gomaa, yang ialah salah satu daulat keimanan sangat kokoh di Mesir, buat membagikan ganjaran keganasan yang sedemikian itu berterus terang?
Dalam buku barunya, Islam and the Arab Revolutions( November 2021), Azami dengan ahli menganalisa sebagian kaum cerdik cendekia Islam sangat terkenal di bumi, mulai dari pemelihara kediktatoran kasar sampai pemelihara kerakyatan Islam serta hak asas orang.
Ia mempelajari kecondongan politik ulama berkuasa, pula diketahui selaku ulama, serta tindakan mereka kepada kewenangan politik serta revolusi. Dalam bacaan granular tetapi penuh emosi, Azami mempelajari kaum cerdik cendekia Muslim sangat terkenal di bumi, tercantum Gomaa, Yusuf al- Qaradawi, Abdullah bin Bayyah serta Hamza Yusuf, yang opini serta ideologinya amat bermacam- macam.
Azami dengan teliti mengabadikan pembenaran agama yang dipakai oleh ulama pro- demokrasi serta anti- revolusioner, di sisi rujukan mereka pada ayat- ayat Alquran serta adat- istiadat kenabian. Ia menganalisa perpindahan berangsur- angsur sebagian ulama- termasuk bin Bayyah serta Yusuf- dari kerakyatan ke despotisme.
Apa yang menyatukan dan memisahkan para cendekiawan Islam: Membetulkan kekerasan
Azami paling utama prihatin dengan ikatan antara 2 aksi Muslim Sunni yang amat mempengaruhi: Islamisme, yang beliau deskripsikan selaku aksi politik yang terpaut dengan Ikhwanul Muslimin, serta neo- tradisionalisme, suatu gerakan keimanan yang menekankan berartinya 4 ajaran hukum, kebatinan. serta kesungkanan buat Salafisme.
Buku ini paling utama berpusat pada Mesir, mengabadikan antagonisme agama yang menggojlok perut kepada revolusi 2011 serta sokongan buat pembunuhan Rabaa. Para atasan agama terkenal tidak cuma menentang revolusi, alhasil membetulkan aniaya pemerintahan Mubarak sepanjang 30 tahun, namun lalu mensupport kewenangan tentara sepanjang penentuan biasa, kudeta, serta pembunuhan Rabaa selanjutnya.
Azami membuktikan keakraban ulama itu dengan penguasa otokratis, apalagi membandingkan pembenaran kekerasan mereka dengan pembenaran keganasan ISIS kepada sesama Muslim.
Azami pula mengatakan keterkaitan menggelisahkan dari dogma yang dianut ulama pro- negara. Sedangkan adat- istiadat Islam” dengan cara historis mewajibkan penguasa buat menaati ketentuan hukum Islam semacam yang dibesarkan oleh para pakar hukum bebas,” para ahli semacam bin Bayyah serta Yusuf sudah memposisikan balik semua jenjang Islam, memandang negeri selaku tempat hukum serta imperatif politik selaku sebanding dengan mandat ilahi.
Pada dikala yang serupa, Azami membuktikan gimana banyak ahli yang dididik dalam badan agama negeri, paling utama Universitas al- Azhar, menentang kudeta serta mendesak jutaan pengunjuk rasa yang mengutip bagian dalam Masa Semi Arab, dari Tunisia serta Libya sampai Mesir serta Suriah.
Buku Azami berikan pembaca cerminan sejenak mengenai marah kokoh yang menjajaki pembunuhan Rabaa: pengkhianatan, ketidakadilan, dendam, keputusasaan, serta kesusahan. Ia menerjemahkan serta menganalisa bagian- bagian yang mengerat batin dari suatu ceramah yang di informasikan oleh ulama- orator tunanetra Rajab Zaki sehabis serbuan itu.
Apa yang menyatukan dan memisahkan para cendekiawan Islam: Garis pemisah tipis
Bisa jadi partisipasi sangat penting Azami terdapat pada diskusinya mengenai Qaradawi, pendukung” kerakyatan Islam” yang berkawan dengan Ikhwanul Muslimin. Qaradawi ditafsirkan selaku pendukung jelas pergantian rukun tetapi revolusioner, perwakilan dari beberapa besar masyarakat Muslim, serta delegasi besar buat Islamisme neo- tradisionalis.
Azami mempelajari pemikiran politik Qaradawi, tercantum pendekatan bertahapnya kepada pergantian serta ganjaran terbatas kepada makar bersenjata dalam permasalahan keinginan serta kebutuhan khalayak.
Tetapi sedangkan Qardhawi jelas anti- otokrasi serta pro- demokrasi Islam, pengarang tidak lumayan mangulas garis pemisah pipih antara kerakyatan serta otokrasi. Para pendukung revolusi Muslim, tercantum bin Bayyah di masa- masa awal mulanya serta Qardhawi, tidak dengan cara langsung mangulas gimana pengganti kerakyatan mereka berlainan.
Pengarang tidak merinci gimana pendapatan Qardhawi kepada lembaga- lembaga negeri modern menciptakan penerangan lembaga- lembaga neokolonial yang menindas yang serupa. Dalam penafsiran ini, bagus” penggemar revolusi orang” serta” pemelihara terkenal pemerintahan otokratis” merupakan 2 bagian mata duit yang serupa.
Pada dikala yang serupa, Azami menguak watak kontradiktif dari kritik Barat kepada Islamisme. Ia menulis gimana kaum cerdik cendekia semacam Andrew March mempersoalkan kerakyatan Islam sebab mungkin jatuh ke dalam jebakan yang serupa semacam otokrasi era saat ini, serta membuktikan kalau kritik ini legal serupa relevannya dengan kerakyatan bebas di Barat.
Kenyataannya merupakan kalau negeri modern, dalam perkawinannya dengan” kerakyatan” bebas, sudah mendeskripsikan balik bukti diri atas dasar ketaatan pada negeri serta rancangan abstrak” orang”. Hasil yang tidak terelakkan merupakan restrukturisasi bukti diri dengan cara menuntut lewat pembelajaran yang terkonsentrasi, alat massa serta kepolisian negeri.
Sejauh kerakyatan Islam ialah usaha buat menaruh prinsip- prinsip Muslim di dalam lembaga- lembaga bermasalah negeri modern, merupakan berarti buat bertanya apakah Islam serta negeri apalagi ialah industri yang cocok.
Buku Azami mengontekstualisasikan pandangan beraneka ragam kaum cerdik cendekia Muslim yang amat mempengaruhi, menguak kerenggangan serta koneksi politik yang mendasarinya. Dengan cara totalitas, Islam serta Revolusi Arab wajib dibaca di aspek asal usul Timur Tengah kontemporer serta pandangan politik Islam.
Sisi Islam – Berita dan gaya hidup muslim tentang: Apa yang menyatukan dan memisahkan para cendekiawan Islam paling terkemuka di dunia?